EPISTEMOLOGI
KEILMUAN ISLAM
MAKALAH
Di
susun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Pengantar Studi Islam
Dosen
Pengampu : M. Rikza chamami M.Si

Di
susun Oleh:
Dieza
Mareta Nafi’u Kartikasari (133911045)
Qurrotul
Umayyah (133911043)
Madya
Arifah (133911047)
Fita
Iktamala (133911048)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
![]() |
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
` Epistemologi dapat diartikan atau
didefinisikan sebagai mempelajari asal usul, atau sumber atau struktur, metode
dan validitas (sahnya) pengetahuan. Model berpikir rasional berpendapat bahwa
menemukan kebenaran dan sekaligus menjadi tolak ukur dengan menggunakan
akal secara logis. Maka benar atau tidaknya sesuatu diukur dengan
rasionalitas akal. Dengan demikian dapat disebut obyek kajian epistemologi
rasional adalah hah-hal yang bersifat abstrak dan logis. Upaya
rekonstruksi filsafat Islam perlu mendapatkan perhatian lebih.
Namun sekedar wacana saja sangatlah tidak
cukup, perlu upaya yang lebih real dan kongkrit yang harus terus
dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin
terasa. Setidaknya ada 2 upaya yang perlu dilakukan yaitu membangun tradisi
ilmiah Islam dan mengkonstruksi kembali bangunan epistemologi keilmuan dalam
Islam, yang akhir-akhir ini banyak terjadi kesimpang siuran dan ketidakjelasan
yang dapat ditemukan dalam satu bidang ini.
Dalam dunia pemikiran, epistemologi
menempati posisi penting, sebab menentukan corak pemikiran dan pernyataan
kebenaran yang di hasilkannya. Bangunan dasar
epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan
titik tekan dalam epistemologi memang sangat besar pengaruhnya dalam
konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu, perlu
pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan
spiritualitas dan moralitas.
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
pengertian Epistemologi
2. Model
Pemikiran Bayani, Burhani, Irfani
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dan juga
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode dan
sahnya ilmu pengetahuan.
Epistemologi lazimnya disebut teori
pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber,
karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.[1]
Istilah epistemologi terkait
dengan :
a.
Filsafat, yaitu sebagai ilmu
berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b.
Metode, yaitu sebagai metode
bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c.
Sistem, yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran
pengetahuan.
Epistimologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pemilihan ontologik akan mengakibatkan
perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi,
atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara
pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh melalui suatu
cara pendekatan ilmiah.[2]
2. Model Pemikiran Bayani, Burhani, dan Irfan
1. Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan
cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks
dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun
corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari
(apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul
terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari
epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1)
Epistemology ini menempatkan teks
yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi,
diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan
apalagi ditolak.
2)
Teks yang dikaji pada epistemology
bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya
berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan
informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini
untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.Kajian dalam model epistemology bayani ini tidak diperkuat dengan analisis
konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).[3]
Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah
lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka
banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a)
Memahami atau menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki)
lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna
zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b)
Mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an
khususnya.
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat
diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam
hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran
sebuah kitab.Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di
dalamnya.
Untuk itu
epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu bahasa
dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai
metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci
yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na,
khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).
Dalam
epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal
hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami
atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu
fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya. kelemahan mencolok pada
Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda,
milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada
teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks
belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani
menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetic.
2. Epistemologi Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang
diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika.Maksudnya bahwa untuk
mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah
manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan
peripatik.Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan
empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities.Artinya ilmu
diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di
labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social.Corak
model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari
hasil-hasil penelitian empiris. [4]
Mengenai model berpikir bayani
dan burhani Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap
sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya
bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal
budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani
atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri
pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi,
simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah).Pendekatan ini
menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber
kajian.
Dari pendapat tersebut kita
seharusnya bisa mengambil sikap terhadap kedua epistemology bayani dan
epistemology burhani, bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh mengambil
atau memilih salah satu diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan
problem-problem social dan dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan
keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk
memadukan model berpikir deduktif dan model berpikir induktif. Perpaduan antara
hasil bacaan yang bersifat konstektual terhadap nash dan hasil
penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan ilmu islam yang sempurna
dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak dapat menuntaskan
problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.[5]
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya,
menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius
(qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini,
pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika
Otoriter (Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter terjadi ketika
pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif
serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud
mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas
sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah).Dalam pendekatan ini
teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.
Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi
dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad,
ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.Karena burhani menjadikan
realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu
penting, yaitu :
1.
Ilmu
al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya
dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya
adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan
mengenai lafz tersebut. Dan
2.
Ilmu
al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan
segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala
sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran
dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang
digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang
mungkin diperoleh darinya.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada
sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani.
Ø Falsafat
al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir
(jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah,
dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq
(sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang
berlaku pada manusia).
Ø Sedangkan
falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1)
hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah
al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu
gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang
bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu
dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau
berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan
modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran
yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning).Sementara
itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang
menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan
humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah).Dua ilmu terakhir ini mengkaji
interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan
sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan
pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah),
kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi
ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami
realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota
masyarakat.Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat
didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan
reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi
bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan
reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam
juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan
dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan
dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka
cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam
Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu,
dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa
lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang
utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada
kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya
pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang
sering dihadapi dalam penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak
sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita
ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada
kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak
sedikit.
3. Epistimologi Irfani
Irfan mengandung beberapa
pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah
dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke
dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai;
1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas
'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irfani adalah
suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun
dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga
merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi.Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi.Manhaj kashfi disebut
juga manhaj ma'rifah irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi
kashf dengan riyadah dan mujahadah.Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah
(analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan
melalui analogi-analogi. Analogi
dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti
1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c)
surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan
bukan manhaj kashfi.Pendekatan irfani juga menolak atau menghindari mitologi.
Kaum irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya
dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan
menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah
al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber
pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna
batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat
dalam pendekatan irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan
zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar,
yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi
tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan
pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan
makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah
al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.[6]
Pendekatan irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil.Ta'wil irfani terhadap
Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf.tetapi ia
merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari
dan berkaitan dengan warisan irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan
untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara
kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan
yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski
pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan
kebenarannya.Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif
dan peran akal bersifat partisipatif.Sifat intersubyektif tersebut dapat
diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan
persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang
harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman".
Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi.tahap terakhir ini
merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian,
tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat
diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah
mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya,
dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan
orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun
memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan
transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan
dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan,
pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/
Nash
|
Ilham/
Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/
Istidlal
|
Kasyf
|
Tahlili (analitik),
Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
logika
|
Tema
sentral
|
Ashl – Furu’
Kata –
Makna
|
Zahir – Batin
Wilayah –
Nubuwah
|
Essensi – Aksistensi
Bahasa –
Logika
|
Validitas
kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli
Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para
Filosof
|
Dalam perspektif Barat dikenal
adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan
positivisme.Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan
ilmiah secara empiris.Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan
karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera
diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja.
Sedangkan metode positivisme menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut
rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis.Aliran
positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal,
kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan.
Epistemologi-epistemologi tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan
berpusat pada dua hal, indera dan rasio.Ini menunjukkan bahwa pusat dari
epistemologi adalah manusia sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat
kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan
kebenaran seenaknya.Semuanya berpusat kepada Allah.Di satu pihak, epistemologi
Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan
sumber segala kebenaran.Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak
lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai
pelaku pencari pengetahuan.[7]
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Dari pemaparan bentuk-bentuk
metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang
merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks
(nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka
menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat
intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang
inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi
burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah,
inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa
muhakamah 'aqliyah) [6]
Sikap terhadap ketiga
epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus
dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk
menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk
memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang
lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial
kekinian dan keindonesiaan.
II.
SARAN
Demikian
makalah ini kami buat, semoga apa yang kami diskusikan dapat menambah pengetahuan
wawasan serta bermanfaat bagi kita semua, dan kami mohon maaf apabila dalam
perkataan maupun tulisan yang masih banyak kesalahannya, ada pepatah mengatakan
tiada gading yang tak retak, oleh sebab itu kami mohon kepada para pembaca
yaitu kritik dan sarannya demi memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2007
Drs.
Asmoro Asmadi, Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Filsafat
umum, asmoro achmadi, jakarta, rajawali pers, 2009
Khudori
Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer , (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam.
Yogyakarta: TERAS
Nasution, Khoiruddin, “Pengantar
Studi islam”. Yogyakarta: Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009
Zainuddin,
M. “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam”.Yogyakarta : Bayu
Media, 2003
YOYO88 Merit Casino - Xn
BalasHapusYOYO88 Merit 바카라 사이트 Casino is 메리트 카지노 주소 the premier online casino in the USA. The platform offers games for both fiat currencies 제왕카지노 and high-quality slots.